Pengelolaan aset negara memiliki dinamika yang menantang. Di awal pembentukan Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN), mandat utama yang diberikan adalah sebagai operator Pengelola Barang dalam mengoptimalkan aset negara yang dianggap belum terutilisasi secara optimal (underutilized) dan yang tidak digunakan/dimanfaatkan atau mangkrak (idle). Aset yang belum teroptimalkan tersebut di antaranya adalah:

  1. Aset idle pada Kementerian/Lembaga (K/L) yang sudah dan/atau akan diserahkan kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) selaku Pengelola Barang;
  2. Aset yang akan dipertukarkan akan tetapi masih menunggu persetujuan Menteri Keuangan, eks aset PT Pertamina;
  3. Sebagian eks aset Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS);
  4. Eks aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN);
  5. Eks aset Perusahaan Pengelola Aset (PPA); dan
  6. Aset Hak Tanggungan Bank Indonesia (HTBI).

Aset negara idle atau aset underutilized mengakibat hilangkan potensi manfaat (opportunity loss) yang menjadi beban negara. Besaran potensi manfaat, baik manfaat finansial dan non finansial yang dapat diperoleh apabila aset tersebut berhasil dimanfaatkan, diinvestasikan, maupun ditukar (asset swap) dengan prinsip highest and best use, adalah cukup signifikan. Selain opportunity loss, pengelolaan aset idle juga menimbulkan double inefficiency karena masih dialokasikan dan dibebankan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D) berupa biaya pemeliharaan dan perawatan serta pengadaan aset baru penunjang pelaksanaan tugas sehari-hari pemerintah. Dalam hal semakin bertambah jumlah aset idle, maka semakin tidak efisien dan tidak optimalnya Pemerintah dalam pengelolaan aset. Hal ini menjadi salah satu sisi kinerja Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, yang perlu dilakukan perbaikan.

Dalam melaksanakan optimalisasi aset, terdapat 2 (dua) jenis tantangan utama yaitu regulatory constraint dan institutional constraint. Dari sisi regulatory constraint, koridor hukum pengelolaan kekayaan negara didesain agar sistem pengendalian internal pengelolaan barang milik negara menjadi perisai yang kuat untuk menjaga negara dari kehilangan aset-asetnya. Hal ini menjadi rintangan dalam upaya mengoptimalisasikan aset secara efektif karena manajemen properti memerlukan ruang gerak yang lebih luas untuk berbagai terobosan dan fleksibilitas, sementara tata kelola instansi pemerintah didesain untuk mengedepankan prudensialitas dan mekanisme birokrasi. Sedangkan dari sisi institutional constraint, terjadi karena karakteristik, budaya birokrasi, serta kompetensi SDM yang bersifat generalis dan tidak didesain untuk menjadi unit yang responsif, fleksibel, otonom dalam mengelola aset, serta memiliki tenaga ahli spesialis yang bernaluri bisnis. Selain itu, sampai dengan saat ini belum ada unit yang ditugaskan secara khusus untuk mengelola aset idle layaknya sebuah entitas property management.

Oleh karena itu, telah dilakukan suatu inisiasi untuk mengatasi keadaan tersebut dengan pendirian sebuah badan layanan umum (BLU) yang melaksanakan fungsi pengelolaan aset idle dan aset potensi, yang selanjutnya disebut Lembaga Manajemen Aset Negara atau LMAN. Bisnis utama LMAN pada awal pendiriannya adalah pengelolaan Barang Milik Negara (BMN), utamanya melaksanakan pendayagunaan dan pemindahtanganan BMN yang difokuskan pada pengelolaan properti negara dan jasa konsultasi asset solution atas pengelolaan aset negara. Kemudian, LMAN menerima tambahan mandat baru yaitu pelaksanaan landfunding sehingga secara keseluruhan mandat LMAN meliputi pengelolaan properti negara, penyediaan jasa konsultasi/advisori terkait pengelolaan properti negara, dan pelaksanaan pendanaan pengadaan tanah proyek-proyek yang tergabung dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).