Pengelolaan Aset untuk Meningkatkan Pendapatan Negara

Di masa lalu, Indonesia sempat berada pada situasi yang bertolak belakang dibanding saat ini terkait pengelolaan aset dan kekayaan negara. Pada masa lalu, penambahan dan pengurangan Barang Milik Negara (BMN) berlangsung begitu saja. Tak pernah dilakukan pencatatan. Apalagi pengelolaan yang baik.

Kemudian lahirlah paket Undang-Undang Keuangan Negara pada tahun 2003. Dimulai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan. Tiga Undang-Undang ini mengawali proses perbaikan pengelolaan kekayaan negara.

Proses perbaikan ditandai dengan dibentuknya Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) pada 2006. Sejak saat itu, inventarisasi aset dan kekayaan negara gencar dilakukan. Setiap barang diberikan nilai. Sehingga, kegiatan seperti mencatat, mengamankan, memelihara, dan mengelola aset negara mulai menjadi tradisi di pemerintahan.

Seiring berjalannya waktu, permasalahan-permasalahan tentang aset negara semakin sulit dikendalikan. Sebagai upaya mengatasi permasalahan, didirikan Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) pada 15 Desember 2015. LMAN berada di bawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang diawasi langsung oleh DJKN.

Pada awal pembentukannya, LMAN memiliki dua mandat utama. Pertama, melakukan optimalisasi aset negara melalui pengelolaan properti negara atau properti manajemen dan menyediakan jasa konsultasi aset negara bagi pengelola barang di Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah. Termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dalam perkembangannya, LMAN mendapat tugas baru yang lebih menantang, yakni melaksanakan pendanaan pengadaan tanah (land funding) untuk pembangunan proyek strategis nasional (PSN).

Ada enam tipe aset kelolaan LMAN yang belum dioptimalkan. Pertama, aset terlantar pada Kementerian/Lembaga yang sudah diserahkan kepada DJKN. Kedua, aset yang akan dipertukarkan akan tetapi masih menunggu persetujuan Menteri Keuangan (eks aset PT Pertamina). Ketiga, sebagian eks aset Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Keempat, eks aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Kelima, eks aset Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Keenam atau terakhir adalah aset Hak Tanggungan Bank Indonesia (HTBI).

Aset yang telah diserahkan ke LMAN dan tengah dioptimalkan berupa rumah toko (ruko), gedung pertemuan, apartemen, tanah mangkrak, hingga LNG (Liquefied Natural Gas).

Direktur Utama (Dirut) LMAN, Rahayu Puspasari, pernah memaparkan keberhasilan LMAN dalam mengoptimalkan aset. Pada enam bulan pertama sejak berdiri pada 16 Desember 2015, LMAN telah menghasilkan pendapatan operasional sebesar Rp20 miliar dari optimalisasi sejumlah aset eks Hak Tanggungan Bank Indonesia (HTBI). Pada 2017, pencapaian LMAN berhasil melesat jauh. Hingga 27 Desember 2017, pendapatan operasional LMAN mencapai Rp249,9 miliar. Kenaikan tersebut didapat dari kilang LNG yang menyumbang sebesar Rp237 miliar. Sementara pendapatan dari aset properti eks HTBI sekitar Rp12,88 miliar.

Tak hanya itu, LMAN juga telah berhasil mencapai zero accident (jam kerja aman) di kilang LNG Badak, Bontang, Kalimantan Timur. Sementara pengelolaan aset LNG Arun di Lhokseumawe, Aceh, LMAN telah melakukan aktivitas pemeliharaan, pengamanan fisik, dan menciptakan ketahanan energi di Aceh dan Sumatera Utara.

LMAN juga berhasil melakukan sertifikasi hak milik satuan rumah susun terhadap 106 unit apartemen Puri Casablanca. Sebelas diantaranya telah selesai direnovasi dan saat ini tengah dalam proses pemasaran.

Keberhasilan-keberhasilan itu tentu tidak didapat dengan mudah. LMAN juga menghadapi kendala dalam mengelola dan mengoptimalkan aset. Salah satunya adalah sertifikasi dan tanggungan ke Bank Indonesia di masa lalu. Akibatnya, aset tersebut tidak bisa dikelola, karena ada yang harus dilunasi. Masalah lainnya adalah aset berupa bangunan rumah yang telah ditempati.

Selama proses pengambilalihan, LMAN melakukan berbagai kajian. Mulai dari historis hingga hukum. Karena  biasanya orang-orang yang telah menempati bangunan adalah mereka yang telah membeli dari pihak yang tidak bertanggung jawab.

Selain itu, LMAN juga tidak hanya melakukan optimalisasi aset yang selalu berujung pada keuntungan komersial. Namun, LMAN juga mengoptimalkan aset bagi kepentingan sosial. Salah satu contohnya adalah di Arun. LMAN membuat satu aset menjadi puskesmas di Arun, Lhokseumawe, untuk dikelola pemerintah daerah setempat. Dalam hal ini, LMAN bertindak sebagai pengawas agar pengelolaan aset tetap maksimal.

Meski tidak memberi pendapatan langsung kepada negara secara langsung, namun jika dikalkulasi secara ekonomis, manfaat sosial aset tersebut mencapai Rp246 miliar per tahun.

Bagi Puspa, sapaan akrab Dirut LMAN, ada potensi yang hilang jika aset tidak dioptimalkan dengan baik. Selain itu, negara juga akan mengalami kerugian karena harus mengeluarkan anggaran untuk perawatan aset yang terlantar {}.